Ujung alam semesta adalah satu dari banyaknya hal yang tidak kita ketahui.
Kita tidak tahu pasti bentuk ujung alam semesta. Bahkan, pandangan kita saat ini untuk mengeksplorasi ruang angkasa sangatlah terbatas.
Untuk mengetahui luasnya alam semesta, kita memerlukan metode ukur dan cahaya. Kenapa memerlukan dua hal tersebut? Yuk, kita bahas lebih jauh di bawah ini, ya!
Mengukur Alam Semesta
Sudut Paralaks
Saat menentukan ujung alam semesta yang sangat luas, para astronom akan melakukan perhitungan jarak terlebih dahulu. Alam semesta yang kita tinggali saat ini terus berkembang di tiap waktunya.
Lalu, bagaimana awal mula astronot menghitung jauhnya suatu planet atau galaksi lain? Mari kita hitung, pada Maret 2004 tim astronom dari European Southern Observatory menemukan galaksi dengan jarak 13,23 miliar tahun cahaya.
Galaksi itu disebut Abell 1835 IR 1916. Astronom mengetahui jarak tersebut yakni paralaks trigonometri.
Revolusi Bumi pada Matahari dapat membuat bintang-bintang terlihat bergeser terhadap bintang-bintang yang jauh. Sudut pergeseran bintang tersebut disebut dengan sudut paralaks.
Sebelumnya, kita sudah mengetahui jarak dari Bumi ke Matahari, sehingga jarak Bintang dapat diketahui. Sudut paralaks sangat kecil sehingga dapat digunakan untuk mengukur jarak bintang yang dekat.
Yakni sejauh beberapa ratus tahun cahaya, berbeda dengan diameter galaksi Bima Sakti yang sebesar 100 ribu tahun cahaya.
Metode Fotometri
Untuk mengukur jarak yang lebih jauh, ada satu metode yang disebut dengan metode fotometri.
Kita pasti akan kesulitan menentukan jarak antara kita dengan mobil yang menyalakan lampu.
Dalam istilah astronomi, energi berupa cahaya itu disebut dengan luminositas, yakni energi dari sumber yang terpancar setiap detik.
Jarak tersebut menggunakan prinsip inverse-square law. Prinsip tersebut memperhitungkan terang sumber cahaya sebanding terbalik dengan jarak kuadrat.
Yakni jika mobil itu bergerak atau bergeser dua kali, maka cahaya yang nampak redup sebesar empat kali.
Benda langit yang luminositasnya dapat terlihat, disebut sebagai standard candle atau lilin standar atau penentu jarak.
Kita tidak mungkin mengukur jarak dari Bumi ke Galaksi Andormeda dengan menggunakan alat ukur biasa.
Astronom menggunakan denyutan atau kedipan dari cahaya bintang yang dapat terlihat di ruang angkasa.
Dengan mengetahui pola cahaya bintang, astronom dapat mengetahui seberapa besar ukuran bintang itu, berapa banyak materi yang dimiliki, dan jaraknya dari Bumi.
Lilin standar merupakan objek yang diketahui cahayanya atau titik terangnya.
Misalnya, ketika kita mengetahui jarak Galaksi Andromeda dari Bumi. Kita bisa mengukur galaksi lain di sebelah Galaksi Andromeda dengan lebih tepat.
Observable Universe
Alam semesta kita tidak berhenti mengembang. Untuk mengetahui seberapa besar alam semesta yang kita tinggali saat ini.
Ujung yang kita ketahui saat ini adalah alam semesta yang berada dalam jarak pandang kita atau disebut observable universe/alam semesta teramati.
Ketika kita pergi 100 ribu tahun cahaya dan meninggalkan Bima Sakti, kita bisa menyaksikan galaksi yang jumlahnya tak terhitung dengan berbagai massa, ukuran, bentuk, dan jenis.
Ketika semakin menjauh dari pusat alam semesta, besar kemungkinan galaksi itu berukuean lebih kecil, bermassa rendah, dan memiliki bintang yang berwarna lebih biru.
Alam semesta kita menurut teori yang banyak dipercaya saat ini bermula dari Big Bang atau ledakan besar. Dari ledakan tersebut materi membentuk objek ruang angkasa yang sekarang ini ada, dari galaksi hingga asteroid.
13,8 miliar tahun lalu, di awal mula Big Bang kita hanya memiliki galaksi kecil, biru, dan muda dan masih dapat berevolusi. Sebelum adanya Big Bang, kita hanya lah merupakan atom netral.
Bahkan sebelumnya lagi, kita merupakan proton dan neutron yang bebas. Lebih jauh lagi, kita merupakan partikel yang tidak stabil.
Saat ini kita menghadapi keadaan inflasi kosmik, yakni semesta yang berkembang sangat cepat sehingga didominasi energy yang melekat pada ruang. Kita mengetahui bahwa alam semesta merupakan ruang-waktu.
Bagaimana Bentuk Ujung Alam Semesta?
Seperti yang kita ketahui, alam semesta terus mengembang. Ada yang mengatakan bahwa luas alam semesta tak terkira, hingga tak berujung.
Kita hanya mampu melihat ujung alam semesta yakni observable universe. Dikutip dari Live Science, kita menggunakan analogi Balon Semesta.
Ketika kita meniup balon, artinya kita menambahkan banyak udara ke balon sehingga titik-titik yang ada di permukaan balon akan merenggang.
Ujung balon di mana kita meniupkan udara ke dalam balon adalah ujung di mana materi terbentuk sehingga terjadi Big Bang.
Ya, itu bisa saja terjadi. Tetapi ujung lainnya, di mana alam semesta tak terbatas, tidak dapat kita amati.
Katie Mack, astrofisika di University of Melbourne Australia menjelaskan bahwa alam semesta lebih tepatnya menjadi kurang padat dibandingkan berkembang.
Artinya, konsentarasi materi di alam semesta berkurang. Hal itu dikarenakan galaksi tidak bergerak menjauh, tetapi ruang yang melebar.
Batas pandang kita hanya sejauh 46,5 miliar tahun cahaya meski usia alam semesta kita baru berusia 13,8 miliar tahun cahaya.
Jika kita melihat sejauh itu, yang artinya bisa saja kita tidak dapat melihat lebih jauh lagi dari 46,5 miliar tahun cahaya.
Kesimpulan
Itulah beberapa teori tentang cara mengukur jarak dan ujung dari alam semesta. Untuk saat ini, kita tidak tahu pasti bagaimana bentuk ujung alam semesta.
Tetapi jika menggunakan teori Balon Semesta, kita bergembang dari satu materi yang memiliki energy.
Materi itu adalah ujung yang mengembangkan alam semesta menjadi ruang-waktu yang tidak dapat dilihat ujungnya.
Sumber :
- Meraih Batas Pandang Alam Semesta – Fisikanet Lipi.
- Ask Ethan: What Does The Edge Of The Universe Look Like? – Forbes.
- Does the Universe Have an Edge? – Live Science.