Apa yang ada di pikiran sahabat Bicara saat mendengar kata G30S/PKI? Pastinya kita semua akan langsung teringat akan kejadian masa lalu yang sungguh mengerikan. Peristiwa kelam yang membuat gugur 10 Pahlawan Revolusi Indonesia akibat peristiwa kudeta tersebut.
Gerakan 30 September atau yang akrab dikenal dengan singkatan G30S/PKI merupakan sebuah insiden mengerikan yang dulu pernah mengancam keutuhan NKRI.
Peristiwa ini terjadi mulai malam hari di tanggal 30 September sampai dengan tanggal 1 Oktober pada tahun 1965.
Peristiwa yang dipelopori oleh Partai Komunis Indonesia ini membuat sepuluh perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia harus menghembuskan nafas terakhir mereka.
Hal ini menjadi salah satu peristiwa yang membuat tercorengnya sejarah Negara Indonesia. Kudeta yang dipimpin oleh D.N. Aidit ini mempunyai tujuan guna mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara komunis.
Peristiwa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia ini berpusat di Yogyakarta dan Jakarta. Mereka tidak hanya menculik dan membunuh sejumlah anggota TNI, tetapi mereka juga membunuh beberapa rakyat kecil yang sebenarnya tidak bersalah.
Sebelum melakukan aksi tersebut, biasanya mereka terlebih dahulu menyiksa dan dilanjutkan melakukan pembantaian dengan sangat kejam terhadap para targetnya.
Oleh karena itu, sepuluh perwira tinggi TNI yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI tersebut diberikan gelar Pahlawan Revolusi. Hal ini bertujuan untuk mengenang jasa-jasa yang telah berikan untuk Negara Indonesia yang tercinta ini.
Siapa saja ya 10 Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI? Yuk, disimak!
1. Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi Indonesia yang Paling Bersejarah
Jenderal TNI Anumerta ini lahir di Jenar, Purworejo, tepatnya di Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922. Sejak tahun 1962, Ahmad Yani telah terpilih menjadi pemimpin utama yang ada di Angkatan Darat.
Ia mempunyai jabatan sebagai Panglima Angkatan Darat ke-6 yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Selain itu, sikap dan sifat yang dimiliki Ahmad Yani membuat sosoknya disenangi oleh sang presiden.
Sebenarnya, sebelum peristiwa G30S/PKI benar-benar terjadi, Ahmad Yani sempat mendengar kabar angin tentang hal ini. Ia mendengar kabar bahwa DN Aidit dan pengikutnya akan mengambil tindakan terhadap para jenderal.
Namun, komandan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat ini tidak mengacuhkannya dan menganggap hal tersebut hanyalah omong kosong belaka. Akhirnya, ia tidak menyiapkan penjagaan yang ketat guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Hari demi hari silih berganti dan pada akhirnya tanggal 30 September dini hari, terjadilah peristiwa kelam sejarah Indonesia tersebut.
Pada saat dini hari di tanggal 1 Oktober 1965, Pasukan Cakrabirawa Partai Komunis Indonesia mulai melakukan pengepungan di sekitar wilayah kediaman Ahmad Yani.
Sebenarnya, Pahlawan Revolusi Indonesia ini telah mencoba melakukan perlawanan, tetapi Ahmad Yani kalah jumlah dan juga persiapan.
Ia pun akhirnya ditembak di tempat dan darah pun mulai bercucuran karena 7 peluru telah menembus dada dari tubuh komandan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat ini.
Selanjutnya, ia dibawa pergi dengan kondisi bersimbah darah menuju ke tempat tujuan. Sekitar dua hari kemudian, jasad Ahmad Yani akhirnya ditemukan di sumur Lubang Buaya yang terletak di wilayah Jakarta Timur bersama jasad perwira lainnya.
Ahmad Yani dikenal sebagai salah satu Pahlawan Revolusi dengan jasa yang begitu besar terhadap kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini membuat namanya diabadikan sebagai nama jalan yang ada di berbagai kota besar di Indonesia.
2. Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, Jaksa Militer yang Lebih Memilih untuk Mengalah
Pahlawan Revolusi Indonesia selanjutnya ini berpangkat Mayor Jenderal TNI Anumerta, yaitu Sutoyo Siswomiharjo. Ia dilahirkan di tanah Kebumen tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1922. Mayor Jenderal ini mempunyai nasib yang serupa dengan rekan-rekannya.
Bermula pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 04.00 WIB, ia diculik oleh para Pasukan Cakrabirawa. Kediamannya pada saat itu telah dikepung oleh para pasukan yang telah siap melakukan penyergapan padanya.
Tanpa izin terlebih dahulu, para Pasukan Cakrabirawa langsung mendobrak pintu masuk dan langsung masuk ke bagian dalam kediaman Sutoyo.
Mereka bertindak sangat anarkis dengan menghancurkan berbagai macam barang yang ada di kediaman Sutoyo sambal berteriak memanggil-manggil nama targetnya.
Sutoyo yang dalam posisi terkejut dan tidak siap apa-apa akhirnya hanya bisa pasrah dan tidak melakukan perlawanan sama sekali. Hal ini ia lakukan dengan tujuan agar kegaduhan yang dibuat oleh para Pasukan Cakrabirawa tidak semakin menjadi-jadi.
Selain itu, perwira tinggi dari Tentara Nasional Indonesia ini juga tidak ingin hal yang buruk terjadi pada keluarga yang sangat ia sayangi.
Akhirnya, ia pun dibawa oleh pasukan yang mengaku-ngaku sebagai pengawal khusus yang langsung ada di bawah perintah Presiden Soekarno.
Meskipun demikian, hal ini sebenarnya tidak bisa membuat keluarga terutama Sutoyo sendiri percaya begitu saja, tetapi apa boleh buat? Keluarga Sutoyo pun bingung dan sangat panik karena mereka tidak tahu akan dibawa ke mana kepala keluarga mereka itu.
Pada akhirnya, tepat pada tanggal 3 Oktober 1965, kabar duka itu pun akhirnya datang. Seorang jaksa utama militer, Sutoyo Siswomiharjo ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa bersama dengan korban kekejaman PKI lainnya di Lubang Buaya.
3. Letnan Jenderal R. Suprapto, Pahlawan Revolusi Indonesia Bekas Tawanan Tentara Jepang
Salah satu pahlawan paling bersejarah ini nyatanya pernah menjadi tawanan dari tentara Jepang, yaitu Letnan Jenderal TNI Anumerta Raden Suprapto. Ia dilahirkan di Purwokerto, Provinsi Jawa Tengah tepatnya pada tanggal 20 Juni 1920.
Ia menjadi salah satu jenderal TNI yang gugur dalam peristiwa kelam sejarah Indonesia pada tanggal 30 September 1965. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai sosok yang selalu berdekatan dengan maut dan juga bahaya.
Hal ini bisa dibuktikan dengan ikut andilnya dia dalam Pertempuran Ambarawa di Jawa Tengah untuk melakukan perlawan pada Sekutu. Selain itu, ia juga pernah menjadi tawanan para tentara Jepang.
Hebatnya, ia selalu berhasil lolos dan akhirnya selamat dari usahanya guna membela keutuhan Negara Kesatuan Republik Indoensia. Namun, siapa yang akan menyangka bahwa ia harus menghembuskan napas terakhirnya di peristiwa kudeta PKI?
Padahal, para anggota PKI juga termasuk orang-orang yang ia bela sampai mempertaruhkan nyawanya. Namun, ternyata mereka mengkhianati Suprapto pada tanggal 30 September 1965.
Hal ini terjadi pada saat situasi Suprapto tengah terlelap pulas bersama keluarganya. Setelah itu, datanglah gerombolan Pasukan Cakrabirawa yang mengaku-ngaku sebagai pasukan khusus yang ada di bawah perintah Presiden Soekarno.
Mereka diperintahkan untuk menjemputnya dan akhirnya Suprapto pun percaya. Hal ini membuat Suprapto dibawa secara baik-baik pada saat itu. Akan tetapi, sejak saat itu, Suprapto seperti menghilang dari muka Bumi dan tak meninggalkan jejak apapun.
Ia baru ditemukan lagi pada tanggal 3 Oktober 1965 di Lubang Buaya, tetapi bedanya sekarang dia sudah dalam kondisi tak bernyawa lagi. Di badannya, terlihat jelas terdapat sekitar 11 peluru telah bersarang.
4. Kapten Pierre Andreas Tendean, Perwira TNI Keturunan dari Negara Prancis
Apakah sahabat Bicara pernah mendengar seorang perwira Tentara Nasional Indonesia keturunan asli dari Prancis?
Kalau iya, berarti sahabat Bicara tak asing lagi dengan sosok Kapten Pierre Andreas Tendean. Ia merupakan salah seorang ajudan dari Jenderal Besar Abdul Haris Nasution.
Pria yang mengawali karier gemilangnya di militer tepatnya bidang Intelijen ini dilahirkan pada tanggal 21 Februari 1939. Meskipun berusia masih sangat muda, semangatnya untuk membela Tanah Air sudah sangat tinggi.
Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pengalaman yang telah ia peroleh. Salah satu yang terkenal adalah pengalamannya yang ikut terlibat langsung dalam pemberantasan dari gerakan perlawanan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia.
Sebenarnya, Kapten Pierra Andrea Tandeon bukanlah target dari para Pasukan Cakrabirawa. Namun, para pasukan tersebut telah salah sangka dan mengira bahwa yang mereka tangkap adalah Jenderal AH Nasution.
Pada saat itu, memang Kapten Pierre masih menjabat sebagai ajudan dari Jenderal Abdul Haris Nasution.
Salah Sasaran yang Berujung pada Pengorbanan
Maka, tidak heran kalau pada tanggal 1 Oktober 1965 ia sedang berada di kediaman jenderal yang menjadi target dari Pasukan Cakrabirawa tersebut. Hal ini terjadi pada saat Kapten Pierre sedang beristirahat di kamar belakang rumah dinas Jenderal Nasution.
Pada saat itu kedatangan Pasukan Cakrabirawa ditandai dengan kegaduhan yang berasal dari suara tembakan bertubi-tubi ke rumah dinas tersebut. Akhirnya, sang kapten pun sadar bahwa ia sedang berada dalam situasi yang berbahaya.
Ia pun bersiap-siap untuk mendatangi pasukan tersebut dengan tujuan untuk melakukan perlawanan. Dengan berbekal hanya senjata berupa pistol, Pierre Tendean bisa dibilang sangat berani saat itu.
Meskipun demikian, ternyata usahanya sia-sia karena ia berhasil disergap oleh banyak orang dengan senjata lengkap. Para Pasukan Cakrabirawa mengira bahwa dirinya adalah target yang sedang mereka incar.
Hal ini membuat Kapten Pierre Tendean dibawa secara paksa oleh para pasukan PKI tersebut.
Sedangkan, sang Jenderal AH Nasution akhirnya berhasil melarikan diri dengan cara melompati pagar di bagian belakang rumahnya. Hal ini tidak lain berkat pengorbanan nyawa dari ajudan setianya.
Setelah sampai di lokasi tempat di mana para target akan dibunuh, Pierre Tendean pun langsung ditembak mati. Di Lubang Buaya itulah para perwira lainnya dibunuh dan disiksa dengan tidak manusiawi.
5. AIPDA Karel Satsuit Tubun, Seorang Polisi Pemberani Penjaga Leimena
Salah seorang korban peristiwa kudeta PKI tanggal 30 September 1965 merupakan seorang ajun inspektur polisi dua anumerta.
Pria bernama Karel Sadsuitubun atau sering dikenal dengan nama Karel Satsuit Tubun ini dilahirkan di wilayah Maluku Tenggara, tepatnya pada tanggal 14 Oktober 1928.
Salah satu Pahlawan Revolusi Indonesia ini merupakan ajudan dari salah satu menteri kabinet presiden Soekarno, Johanes Sayimenah.
Meskipun demikian, ternyata Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun ini merupakan satu-satunya perwira yang bukan dari anggota Tentara Nasional Indonesia.
Pada malam hari yang kelam itu, ia melakukan penjagaan ketat di sekitar wilayah rumah Johannes Leimena yang keberadaannya tidak jauh dari rumahnya. Kemudian, tiba-tiba datanglah segerombolan pasukan tak dikenal ke arah mereka.
Ternyata, pasukan yang datang itu adalah Pasukan Cakrabirawa yang hendak menuju ke rumah Jenderal A.H. Nasution. Mereka ternyata juga bertujuan untuk melumpuhkan para pasukan yang sedang melakukan penjagaan di sekitar kediaman Leimena.
Setelah itu, mereka akhirnya menyadari bahwa pasukan tersebut mempunyai niat yang tidak baik terhadap para pemimpin mereka. Pada saat itu, KS Tubun yang sedang melakukan penjagaan di rumah Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena pun tidak tinggal diam.
Ia langsung melakukan perlawanan terhadap para Pasukan Cakrabirawa dengan menggunakan senjata yang masih menempel di seragamnya. Akan tetapi, ia ternyata mengalami kekalahan. Hal ini disebabkan karena satu melawan delapan orang.
Pada akhirnya, KS Tubun pun disiksa oleh para Pasukan Cakrabirawa dengan sangat sadis dan tidak manusiawi. Ia menghembuskan napas terakhir setelah beberapa peluru berhasil menembus tubuhnya dan menyebabkan dia harus meninggal di tempat.
Namun, ternyata KS Tubun tidak dibawa oleh Pasukan Cakrabirawa ke tempat pembuangan yang dikenal dengan nama Lubang Buaya. Jasadnya ternyata ditinggalkan dan dibiarkan begitu saja.
Namun, guna menghormati jasa yang telah ia berikan, ia tetap dimasukkan ke dalam salah satu Pahlawan Revolusi Indonesia.
6. Letnan Jenderal M.T. Haryono, Letnan Pemberani yang Sempat Melawan
Pahlawan Nasional Indonesia selanjutnya berasal dari tanah Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Ia adalah Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono yang dilahirkan di Kota Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 20 Januari 1924.
Ia termasuk ke dalam salah satu pahlawan yang gugur di peristiwa kudeta yang dilakukan PKI pada tanggal 30 September 1965.
Pria yang akrab disapa dengan sebutan MT Haryono ini tergolong masih muda saat itu, umurnya sekitar 41 tahun pada saat itu. Kejadian dimulai saat segerombolan pasukan mendatangi kediaman Haryono dan bertemu dengan istrinya.
Pasukan Cakrabirawa ini mengatakan bahwa mereka diperintahkan oleh Presiden Soekarno untuk memanggil MT Haryono. Istrinya yang curiga pun langsung kembali ke kamar dan mengunci pintu.
Kemudian, istrinya memberitahukan pada suaminya bahwa firasatnya mengatakan ada keanehan pada pasukan tersebut. Hal ini membuat Haryono pun merasa curiga dan semakin waspada.
Akhirnya dia mematikan lampu dan mengomando istri dan anaknya untuk pindah ke kamar sebelah. Pasukan Cakrabirawa pun akhirnya bahwa kebohongan mereka telah terungkap dan mulai bermain dengan kasar.
Mereka melepaskan tembakan ke arah pintu kamar yang terkunci tersebut. Haryono yang tengah bersembunyi pun bersiap-siap untuk melakukan penyergapan. Dengan sigap ia mencoba keberuntungannya untuk merebut senjata para pasukan, tetapi ternyata gagal.
Setelah itu, ia memutuskan untuk melarikan diri dan keluar lewat pintu yang terkunci tadi. Gerombolan Pasukan Cakrabirawa yang ada di luar pun langsung menembaki Haryono dengan tembakan beruntun.
Peristiwa ini membuat Haryono langsung jatuh tersungkur dan membuatnya langsung meninggal di tempat.
Selanjutnya, ia dimasukkan ke dalam sebuah truk yang akan membawanya menuju lokasi Lubang Buaya bersama dengan Pahlawan Revolusi Indonesia lainnya.
7. Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo, Pahlawan Revolusi Indonesia yang Dikhianati oleh Anak Buahnya
Pria dengan nama lengkap Katamso Darmokusumo ini dilahirkan di Sragen pada tanggal 5 Februari 1923.
Ia adalah seorang Brigadir Jenderal dari Tentara Nasional Indonesia Anumerta yang juga merupakan mantan KOREM 072 Pamungkas yang gugur pada peristiwa kudeta PKI, yaitu Peristiwa Gerakan 30 September.
Pada saat itu, tepatnya di tahun 1965 Brigjen Katamso Darmokusumo sedang melaksanakan tugasnya di Yogyakarta. Pada situasi ini, telah tersebar pemberitaan di kalangan TNI terkait menghilangnya para perwira yang ada di Jakarta.
Ia dan para prajuritnya pun dibuat bingung tentang situasi tersebut karena mereka tidak tahu pasti hal apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Katamso masih tetap menjalankan kewajiban yang diberikan kepadanya. Misalnya saja seperti saat mengikuti rapat di Magelang dengan situasi dan kondisi yang sedang kacau dan berantakan.
Keadaan Langsung Berubah saat Ia Pergi
Tepat setelah ia pergi dari tempat rapat, ternyata para pasukan militer yang telah berpihak pada PKI langsung mengambil alih dan mulai menguasai markas tersebut.
Setelah rapat itu, Katamso langsung kembali menuju ke rumah dinasnya yang berada di Yogyakarta guna menyelenggarakan rapat bersama dengan para prajuritnya. Ternyata, para prajurit yang sedang bersamanya itu juga telah berkhianat dan berpihak pada PKI.
Saat itu, tiba-tiba datang sebuah truk besar yang berisikan para pasukan dengan senjata lengkap. Pada saat yang bersamaan para prajuritnya yang telah berkhianat langsung menunjukkan sikap asli mereka dan membuat Katamso terkejut.
Pasukan Cakrabirawa itu langsung menodongkan senjata ke arah Katamso dan membuatnya tidak bisa berkutik lagi. Mereka pun langsung menculik Katamso dan memaksa untuk ikut bersama dengan mereka.
Awalnya, Katamso melakukan pemberontakan, tetapi langsung pingsan saat Pasukan Cakrabirawa memukulnya dengan kunci mortar.
Selanjutnya, Pahlawan Revolusi Indonesia itu pun langsung dimasukkan ke dalam lubang yang telah disiapkan oleh Pasukan Cakrabirawa. Jasad Katamso baru ditemukan pada tanggal 21 Oktober 1965 dengan kondisi yang sudah buruk dan rusak.
Setelah itu, pada tanggal 22 Oktober 1965, jasad dari Brigjen TNI Katamso dimakamkan secara hormat dan manusiawi di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.
8. Letnan Jenderal S. Parman, Pahlawan Revolusi Indonesia yang Menghentikan Pemberontakan APRA
Salah seorang pahlawan lainnya yang juga gugur di peristiwa kudeta PKI, yaitu Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman. Pria kelahiran Wonosobo pada tanggal 4 Agustus 1918 ini merupakan salah satu Pahlawan Revolusi Indonesia dan juga tokoh militer Indonesia.
Pria yang juga akrab disapa dengan nama S. Parman ini ternyata juga pernah mengikuti sekolah kedokteran, tetapi hanya sesaat. Ia akhirnya memutuskan untuk berpindah dari bidang kesehatan dan terjun menjadi bidang militer.
Salah satu pencapaian terbesar yang pernah ia capai adalah menghentikan terjadinya pemberontakan Angkatan Perang Radu Adil atau dapat disingkat APRA.
Peristiwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau sering dikenal dengan nama Kudeta 23 Januari merupakan peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1950.
Peristiwa tersebut dipimpin oleh mantan Kapten KNIL dan juga mantan komandan Depot Speciale Troepen, yaitu Raymond Westerling.
Pada saat itu, kelompok milisi APRA masuk ke kota Bandung dan melakukan pembunuhan secara sadis dengan target semua orang berseragam TNI yang mereka temui.
Selain itu, S. Parman di juga berperan menjadi sosok intelijen yang mempunyai hubungan dekat dengan PKI di angkatan darat.
Hal ini disebabkan karena faktor pendukung lain, yaitu karena kakaknya, Ir. Sakirman merupakan salah satu petinggi Partai Komunis Indonesia.
Hal ini menyebabkan S. Parman mengetahui banyak informasi tentang rahasia dan rencana busuk yang dibuat oleh kelompok tersebut. Akan tetapi, ternyata hal ini menyebabkan dirinya juga termasuk ke dalam target sasaran peristiwa kudeta PKI itu.
Tepat pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 04.00 WIB, kediamannya dikepung oleh segerombolan Pasukan Cakrabirawa. Tak butuh waktu lama, ia langsung ditembak mati dan kemudian tubuhnya dibuang di Lubang Buaya.
Fakta mirisnya adalah ternyata kakaknya sendirilah yang menjadi dalang dari penculikan dan pembunuhan sadis terhadap S. Parman.
9. Kolonel Infanteri R. Sugiyono Mangunwiyoto
Pahlawan lainnya yang juga gugur dalam peristiwa mencekam tersebut adalah Kolonel Infonteri R. Sugiyono Mangunwiyoto.
Pahlawan yang lahir di wilayah Gedaren, Sumbergiri, Ponjong, Gunungkidul tanggal 12 Agustus 1926 ini pernah memegang tanggung jawab sebagai kepala staf KOREM 072.
Namun, situasi tersebut akhirnya berubah saat ia menjadi salah satu korban kekejaman peristiwa kudeta pada tanggal 30 September di daerah Kentungan Yogyakarta silam.
Salah satu peristiwa yang menjadi sejarah kelam dan noda yang menggores kesucian dari Tanah Air tercinta ini.
Sugiyono merupakan salah satu satu di antara beberapa korban lain dari peristiwa G30S/PKI pada hari itu. Hal ini bermula pada tanggal 1 Maret 1949 saat terjadinya Agresi Militer II di wilayah Yogyakarta.
Ia merupakan salah satu pahlawan yang ikut berkontribusi besar dalam serangan tersebut. Salah satu faktor yang membuat berubahnya penilaian dunia terhadap kekuatan dari Negara Indonesia.
Selain itu, ia ternyata juga berpartisipasi dalam Gerakan Operasi Militer III dalam rangka meredakan pemberontakan dari KNIL.
KNIL sendiri merupakan singkatan dari Koninklijke Nederlands-Indische Leger atau secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai Tentara Kerajaan Hindia Belanda.
Pemberontakan yang dipimpin oleh Andi Aziz ini terjadi di sekitar wilayah Sulawesi Selatan. Hal ini akhirnya membuat jabatan Sugiyono menjadi naik pada bulan Juni 1965.
Jabatannya yang semula Letnan Kolonel naik menjadi Kepala Staf Komando Resort Militer (Korem) 072 Kodam VII Diponegoro yang khusus bertugas di sekitar wilayah Yogyakarta.
Semakin Buruknya Situasi di Tanah Air
Namun, ternyata situasi dan kondisi Negara Indonesia menjadi semakin buruk pada tahun 1965. Hal ini disebabkan karena semakin brutal dan ganasnya pemberontakan yang dilakukan oleh PKI.
Hal ini ditandai dengan terjadinya infiltrasi dan agitasi yang semakin gencar dilakukan oleh PKI. Parahnya, mereka melakukan hal tersebut tidak mengenal lingkungan dan situasi yang mereka targetkan.
Selain itu, ternyata PKI telah berhasil melakukan provokasi besar-besaran di wilayah Yogyakarta. Mereka mempengaruhi para tani dan buruh guna melakukan pemberontakan terhadap pemerintah.
Bahkan, sekitar 15 juta massa dari para tani dan buruh ingin mengajukan permintaan untuk diberikan wewenang dan senjata lengkap. Selain itu, PKI juga dengan lantang dan berani menyebut mereka sebagai angkatan kelima.
Akan tetapi, hal tersebut ditentang dengan tegas oleh Perwira TNI Angkatan Darat. PKI pun memandang hal ini sebagai ancaman besar dan berniat untuk menjadikan perwira TNI AD sebagai target utama yang dapat menjadi penghalang terwujudnya tujuan PKI.
PKI menyusun rencana dengan sangat matang dan mempertimbangkan segala aspek yang mungkin bisa terjadi.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk melakukan pemberontaka dengan menguasai pemerintahan di tingkat pusat sampai dengan wilayah pedesaan.
Selain itu, ternyata PKI juga telah berhasil menguasai TNI sampai ke akar-akarnya. Hal ini ditandai dengan diculiknya para perwira TNI Angkatan Darat pada saat ini.
Para perwira di Jakarta diculik, disiksa, dan kemudian dibunuh dengan sangat sadis oleh para Pasukan PKI yang dikenal dengan nama Pasukan Cakrabirawa.
Kolonel Sugiyono juga termasuk dalam kelompok tersebut yang diculik tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1965. Ia dibunuh dengan sadis di sekitar wilayah Kentungan, Yogyakarta.
Jasadnya kemudian dibuang di Lubang Buaya dan baru ditemukan pada tanggal 21 Oktober 1965 dalam kondisi yang telah hancur dan rusak.
10. Mayor Jenderal D.I. Pandjaitan, Pahlawan Revolusi Indonesia yang Berhasil Menggagalkan Aksi Penyelundupan Senjata
Sosok Pahlawan Revolusi Indonesia selanjutnya yang menjadi korban di peristiwa kelam tersebut adalah Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Ispac Panjaitan. Ia dilahirkan di wilayah Balige, Sumatera Utara, tepatnya pada tanggal 19 Juni 1925.
Ternyata, ia juga termasuk dalam salah satu tokoh yang ada di balik merintisnya Tentara Keamanan Rakyat (TKR), hal ini kemudian menjadi cikal bakal berdirinya TNI.
Sebenarnya, ia bukan target utama dari peristiwa kudeta yang dilakukan PKI, tetapi semuanya menjadi berubah saat ia berhasil menggagalkan penyelundupan senjata dari Tiongkok pada saat itu.
Usut punya usut, ternyata dalang dari penyelundupan tersebut tidak lain adalah PKI sendiri. Hal ini kemudian menyebabkan Pandjaitan dimasukkan ke dalam target penculikan dan penyiksaan yang dipelopori oleh PKI.
Hal ini terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 04.30 WIIB. Pada saat itu, segerombolan pasukan tidak dikenal tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kediaman Pandjaitan tanpa permisi.
Selain itu, mereka juga bersikap sangat ganas dengan menembaki dan menghancurkan perabotan rumah Pandjaitan.
Pasukan yang dikenal dengan nama Pasukan Cakrabirawa tersebut kemudian berteriak memanggil-manggil nama Jenderal Pandjaitan dengan lantang. Pandjaitan yang terbangun pun langsung sadar bahwa di bawah telah menanti sesuatu yang buruk untuknya.
Ia pun menyiapkan pistolnya guna berjaga-jaga, tetapi sayangnya pistolnya macet dan tidak bisa digunakan. Akhirnya, ia pun mengambil keputusan untuk menemui pasukan misterius tersebut dengan damai tanpa perlawanan.
Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena sosok Pandjaitan yang religius dan sangat percaya terhadap keajaiban Tuhan. Sebelum menemui pasukan tersebut, ia berdoa terlebih dahulu guna menenangkan dirinya.
Tepat saat berhadapan dengan Pasukan Cakrabirawa, ia langsung dipukul tepat di bagian kepala yang membuatnya langsung tersungkur. Lebih parahnya lagi, beberapa peluru langsung ditembakkan ke arah tubuhnya.
Ia pun langsung menghembuskan napas terakhir pada saat itu juga di rumahnya. Setelah itu, jasadnya langsung dibawa menuju Lubang Buaya bersama dengan perwira lainnya yang sama-sama telah dalam keadaan wafat.
Kesimpulan :
Berbicara perihal sejarah pasti akan selalu menimbulkan berbagai teka-teki tersendiri. Selain itu, sejarah juga selalu menyimpan berbagai macam misteri yang membuat kita semakin ingin tahu lebih dalam perihal peristiwa apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu.
Tak terkecuali juga dengan peristiwa kudeta mengerikan yang terjadi pada zaman dahulu.
Pada tanggal 30 September 1965 di malam hari yang gelap, para Pasukan Cakrabirawa mulai menculik dan menyiksa satu-persatu perwira yang telah mereka jadikan sebagai target untuk dibunuh.
Peristiwa yang dikenal dengan nama G30S/PKI ini menjadi salah satu peristiwa yang berhasil menodai kesucian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu.
Peristiwa mengerikan dan sangat tidak manusiawi itu bahkan sempat disembunyikan dari perjalanan sejarah Indonesia karena terlalu kejam.
Namun, hal itu kembali diungkap setelah beberapa tahun kemudian. Akhirnya, satu-persatu Pahlawan Revolusi Indonesia yang menjadi korban terungkap.
Dimulai dari Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani yang tetap berani melakukan perlawanan, tetapi kalah karena jumlah.
Selain itu, terdapat juga pahlawan bernama AIPDA Karel Satsuit Tubun yang dengan gagah dan beraninya berusaha untuk menghalangi para Pasukan Cakrabirawa. Para pasukan yang hendak menyerang kediaman dari AH Nasution.
Sumber :
- Gugur karena G30S/PKI, Ini 10 Pahlawan Revolusi Indonesia – IDN Times
- Mengenang 10 Pahlawan Revolusi yang Gugur dalam Peristiwa 30 September – Kumparan
- Ahmad Yani – Wikipedia
- R. Suprapto (pahlawan revolusi) – Wikipedia
- Karel Sadsuitubun – Wikipedia
- Mas Tirtodarmo Haryono – Wikipedia
- Sugiyono Mangunwiyoto – Wikipedia
- Kisah Kolonel Sugiyono, Pahlawan yang Diculik & Dibunuh saat G30S/PKI, Ditemukan 21 Oktober 1965 – Wikipedia