Apakah Manusia Semakin Dekat Dengan Teknologi Modifikasi Cuaca

Bagaimana kalau ada teknologi modifikasi cuaca yang bisa bikin manusia mampu mengendalikan kapan hujan akan turun dan kapan langit berubah cerah? Sebetulnya ada teknologi bernama cloud seeding atau penyemaian awan yang umum dipakai di bidang pertanian.

Tapi bagaimana dengan kontrol cuaca dalam skala besar? Untuk mengendalikan badai misalnya.

Meski nampaknya bisa menyimpan bahaya, dengan kemajuan teknologi yang ada saat ini, hal tersebut bukan tidak mungkin terwujud. Bisa jadi teknologi modifikasi cuaca dalam skala besar dapat membantu manusia menyelesaikan isu perubahan iklim.

Tapi sebelumnya, bagaimana teknologi ini dapat berkembang? Apa akibatnya bagi alam? Dan, sudah seberapa dekat kita dengan perwujudan teknologi ini?

Teknologi pengendali cuaca

Mari kita kesampingkan dulu gagasan soal modifikasi cuaca ekstrim, seperti badai atau angin topan. Saat ini teknologi yang dapat mengendalikan cuaca sudah dipakai selama puluhan tahun terutama di bidang pertanian. Cloud seeding, namanya.

Seperti yang sudah dijelaskan sedikit, cloud seeding atau penyemaian awan yang paling dasar dilakukan dengan ‘menyuntikkan’ garam, dry ice, iodida perak, dan partikel kimia lainnya ke awan.

Ini dilakukan dengan menggunakan generator darat, roket, atau pesawat untuk mendorong curah hujan.

Pesawat militer yang sedang digunakan untuk cloud seeding. (SnowBrains)
Pesawat militer yang sedang digunakan untuk cloud seeding. (SnowBrains)

Secara alami, hujan terbentuk di awan ketika ada inti kondensasi yaitu partikel kecil yang menarik kondensasi air. biasanya inti kondensasi terbentuk dari garam laut, jelaga api, tanah, angin, atau partikel alami lainnya.

Nah, dengan teknologi cloud seeding, proses kondensasi ini dipicu dengan menggunakan partikel kimia tadi dan akhirnya menghasilkan apa yang kita kenal sebagai “hujan buatan”.

Eksperimen-eksperimen modifikasi cuaca

Dari teknologi modifikasi cuaca sederhana seperti cloud seeding, para ilmuwan dan orang-orang yang memiliki visi mengendalikan cuaca mulai berpikir untuk meningkatkan skalanya dari hujan biasa menjadi badai dan angin topan.

Beragam studi telah dilakukan bahkan sejak tahun 1946, di mana ilmuwan General Electric (GE) memiliki visi bahwa metode cloud seeding dapat juga digunakan untuk mengendalikan angin topan dengan cara menyemai dry ice dan menurunkan temperatur di tengah pusaran anginnya.

Karena itulah Project Cirrus tercipta, yaitu sebuah kolaborasi antara GE, Kantor Riset Angkatan Laut AS, dan Biro Cuaca AS. Tahun 1947, mereka mencoba menyemai angin topan Cape Sable.

Kemunculan angin topan tersebut berubah dari perkiraan dan mengenai daerah yang semula tidak diprediksi.

Kemudian tahun 1958, Angkatan Laut AS secara diam-diam mengklaim bahwa mereka mampu membuat awan dan memecahnya dengan teknologi cloud seeding baru yang menggunakan karbon hitam.

Tahun 1960 dan 1962, Project Skyfire dan Project Skywater juga melakukan studi untuk mengurangi keparahan badai petir dan meneliti penyemaian awan di waktu serta lingkungan yang berbeda.

Dampak kecanggihan teknologi modifikasi cuaca

Semenjak adanya kompetisi abad 20 yang melibatkan dua rival Perang Dingin, yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat, Space Race dimulai. Sebuah kompetisi panjang untuk meraih tempat teratas dalam kemampuan penerbangan luar angkasa.

Salah satu kompetisinya adalah eksperimen magnetosfer bumi, sebuah lapisan medan magnet yang menyelubungi bumi. Istilah mudahnya, perisai bumi dari partikel bermuatan angin surya (solar wind).

Eksperimen yang disebut modifikasi magnetosfer ini melibatkan partikel metal, uap, dan plasma yang dilepaskan ke daerah atmosfer atas untuk menciptakan awan ion buatan di dalam lapisan-lapisan magnetosfer.

Lapisan-lapisan ini kemudian dapat digunakan untuk keperluan studi ilmiah.

Eksperimen ini membuktikan bahwa jika ionosfer dipanaskan, lapisan tersebut dalam digunakan untuk komunikasi global, perang luar angkasa, pengendalian iklim, hingga modifikasi cuaca.

Tahun 1978, para ilmuwan AS menemukan bukti bahwa Uni Soviet melepaskan gelombang Extremely Low Frequency (ELF) ke atmosfer atas dan menyebabkan kerusakan pada jet stream, arus angin kencang pada atmosfer.

Akibatnya tahun 1983 badai El Nino dalam sejarah terjadi karena pergeseran yang dramatis pada jet stream tadi.

Akibatnya: perang cuaca?

Teknik cloud seeding yang dipakai pada Operation Popeye. (Wikipedia)
Teknik cloud seeding yang dipakai pada Operation Popeye. (Wikipedia)

Selama masa-masa awal studi teknologi modifikasi cuaca ramai dilakukan tahun 1940-1970-an, hukum mulai diberlakukan di AS.

Segala jenis aktivitas modifikasi cuaca wajib dilaporkan ke Pemerintah Federal melalui Weather Modification Reporting Act tahun 1972. PBB pun mengatur hal ini dalam sebuah konvensi yang ditandatangani di Jenewa pada 18 Mei 1977.

Tapi memangnya seperlu itu, ya teknologi modifikasi cuaca diatur oleh hukum secara ketat? Bukannya teknologi ini berguna untuk meningkatkan curah hujan di periode kemarau dan jumlah suplai air di daerah kekeringan?

Jelas perlu. Operation Popeye digunakan oleh pasukan militer AS ketika Perang Vietnam 1967-1972. Operasi ini melibatkan hujan buatan yang dimaksudkan untuk memperpanjang musim hujan di daerah-daerah tertentu di Ho Chi Minh.

Akibatnya suplai bagi pasukan Vietnam terhalang karena jalanan menjadi licin dan terjadi tanah longsor di mana-mana. Sejak saat itu modifikasi cuaca dalam peperangan dilarang oleh PBB di bawah Konvensi Modifikasi Lingkungan (Environmental Modification Convention).  

Jadi, di tangan orang yang salah, teknologi ini bisa disalahgunakan dan digunakan di medan perang, lho. Makanya penting sekali hukum untuk mengatur teknologi yang terus berkembang ini.

Teknologi baru cloud seeding dan manfaatnya bagi alam

Sementara itu, teknologi cloud seeding terus mengalami perkembangan.

Para peneliti, salah satunya di Masdar Institute, Abu Dhabi, mulai melakukan riset untuk mempercepat dan meningkatkan operasi cloud seeding dengan teknologi nano. Teknologi hujan buatan dengan ini bisa dikembangkan dengan laser dan pengionisasi awan.

Sebuah perusahaan modifikasi cuaca di Doha, Aquiess, mengembangkan cloud seeding dengan teknologi berbasis resonansi dan frekuensi.

Menggunakan sensor untuk menyelidiki kondisi atmosfer, frekuensi ini dapat digunakan untuk mengetahui dinamika frekuensi badai hingga dapat menyesuaikan jalur badai tersebut.

Melalui RAINAID Project-nya, Aquiess menawarkan teknologinya untuk memitigasi kemarau di Afrika dan membuat hujan buatan bagi daerah-daerah tertentu yang membutuhkan.

Kesimpulan

Teknologi modifikasi cuaca telah ada sejak lama dan kita kenal lewat hujan buatan. Teknologi di bidang ini masih akan terus berkembang untuk memberikan manfaat di bidang atau daerah yang membutuhkan.

Akan tetapi tidak jarang pula teknologi ini disalahgunakan misalnya untuk peperangan. Belum lagi eksperimen yang bermain-main dengan atmosfer yang bisa berdampak buruk bagi perubahan iklim.

Tapi semoga manusia senantiasa bijak, ya dalam memanfaatkan teknologi yang semakin maju ini.

Maka dari itu, penting sekali buat kita untuk terus meng-update informasi teknologi dan ilmu pengetahuan terkini. Salah satunya adalah membaca. Jadi, yuk, simak juga artikel menarik lainnya seputar ilmu pengetahuan hanya di Bicara Indonesia!

Sumber :

  • Weather Modification Technology — Decades of Ever-Increasing Tempo – Gaia
  • Penyemaian awan – Wikipedia
  • Weather modification – Wikipedia
  • Operation Popeye – Wikipedia