Alun-alun adalah salah satu jejak peninggalan jaman kerajaan hingga penjajahan Belanda yang masih tersisa hingga sekarang.
Itu adalah kenyataan yang mungkin tidak banyak diketahui oleh generasi modern, bahwa sebenarnya alun-alun sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu.
Mereka saat ini hanya tahu bahwa di tengah kota ada ruang publik untuk berbagai kegiatan rakyat. Alu-alun bagi mereka hanya tentang penamaan tempat ikonik saja.
Alun-Alun Di Jaman Kerajaan
Sesuai dengan kitab dan peninggalan sejarah lainnya, alun-alun sudah disebutkan sejak era Kerajaan Majapahit, kemudian dilanjutkan keberadaannya pada era Kerajaan Mataram. Fungsi alun-alun pada setiap eranya juga mulai bergeser.
Alun-Alun Kerajaan Majapahit
Keberadaan alun-alun pertama kali ditemukan pada jaman Kerajaan Majapahit, di abad ke-13. Penggambaran lokasi dan fungsinya tertera dalam kitab Negarakertagama, karya Empu Prapanca.
Pada saat itu alun-alun adalah lapangan atau area terbuka berbentuk persegi empat yang sekelilingnya terdapat jalan. Lokasinya masih satu area dengan keraton, sehingga lebih mendekatkan raja yang berkuasa saat itu untuk memantau aktivitas rakyatnya di alun-alun tersebut.
Ada dua fungsi utama alun-alun pada masa kerajaan Hindu-Budha ini. Karena mempunyai fungsi berbeda maka dibuatlah dua alun-alun yang letaknya berdekatan namun masih dalam lingkup keraton. Fungsi alun-alun pada masa Kerajaan Majapahit adalah ;
Fungsi profan
Yaitu alun-alun sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan rakyat seperti ; pesta rakyat, perayaan-perayaan, penyelenggaraan sayembara oleh raja, hiburan rakyat hingga tempat berlatihnya prajurit kerajaan.
Saat itu alun-alun tersebut diberi nama Alun-Alun Bubat. Luasnya diperkirakan mencapai satu kilometer persegi.
Fungsi sakral
Yaitu alun-alun sebagai tempat untuk melaksanakan ritual keagamaan. Seperti misalnya upacara yang dilakukan petani saat akan memulai musim cocok tanam, upacara penobatan dan upacara atau ritual-ritual lainnya.
Karena untuk ritual keagamaan maka di dalam area alun-alun ini ada bangunan candi atau kuil-kuil untuk peribadatan. Alun-alun ini diberi nama Alun-Alun Wiguntur. Dibanding Bubat, luas Wiguntur ini lebih kecil namun letaknya lebih dekat dengan keraton.
Alun-Alun Kerajaan Mataram
Memasuki era kerajaan Mataram, keberadaan alun-alun masih tetap dipertahankan sebagai bagian dari budaya saat itu.
Ini menunjukkan adanya kontinuitas dalam konsep meskipun ada transformasi peradaban. Alun-alun di era ini memang tidak seluas jaman sebelumnya. Namun bentuk, penataan dan fungsinya masih tetap sama.
Untuk fungsi sakral, ada sedikit pergeseran pada tempat ibadah. Karena jaman Kerajaan Mataram sudah mengenal agama Islam maka candi-candi atau kuil di alun-alun pada era Majapahit diganti dengan bangunan masjid yang diletakkan di sekitar alun-alun.
Masjid ini biasanya terletak di sisi barat alun-alun yang menghadap langsung ke alun-alun tersebut. Maka tak heran bila saat ini sering kita menjumpai adanya masjid di sekitar alun-alun.
Pergeseran letak atau perubahan penempatan ini disebabkan karena alun-alunnya sendiri lebih difungsikan untuk kegiatan rakyat dan keperluan keraton sendiri dalam berbagai kegiatannya.
Namun di hari-hari tertentu atau hari keagamaan alun-alun juga difungsikan untuk tempat perluasan atau panampungan sementara peribadahan di masjid.
Pada jaman Kerajaan Mataram, baik yang ada di Yogyakarta maupun di Surakarta, pemisahan fungsi alun-alun masih tetap dipertahankan. Sebagai contoh adanya Alun-Alun Lor (utara) dan Alun-Alun Kidul (selatan).
Kegiatan rakyat pada jaman itu selalu dipusatkan di alun-alun sesuai dengan peruntukkannya. Baik itu untuk pertunjukan kesenian sebagai hiburan rakyat, pasar rakyat hingga acara-acara keraton.
Jadi meskipun dengan lokasi yang terpisah, pada jaman kerajaan fungsi alun-alun adalah sebagai ;
- Tanda adanya kekuasaan raja terhadap rakyatnya pada sistem kerajaan yang ada saat itu. Karena apabila ada kegiatan di alun-alun, maka rakyat bisa melihat kemegahan keraton yang ada di sekitar alun-alun. Demikian juga dari sisi kerajaan, keraton dapat menunjukkan eksistensinya di hadapan rakyat secara langsung.
- Tempat semua upacara keagamaan dan upacara-upacara keraton.
- Tempat berkumpulnya rakyat dengan segala kegiatannya. Terkadang alun-alun juga difungsikan untuk gelar prajurit keraton.
Alun-Alun Di Jaman Hindia Belanda
Masuknya Belanda ke Nusantara salah satu dampaknya adanya perubahan pada sistem pemerintahan.
Di Jawa, pemerintahan Hindia Belanda membentuk pemerintahan yang bersifat lokal, yaitu Karisidenan (dipimpin seorang Residen) yang membawahi beberapa Kabupaten (yang dipimpin oleh Bupati).
Untuk menunjukkan eksistensi kekuasaannya itu, di setiap kabupaten didirikan rumah bupati dan pendopo. Di depan dua bangunan ini dibuatlah alun-alun.
Pemerintah Hindia Belanda juga membangun tempat-tempat di sekitar alun-alun. Tujuannya adalah menjadikan alun-alun sebagai pusat pemerintahan di daerah.
Selain rumah bupati dan pendopo, di sekitar alun-alun biasanya juga didirikan kantor pos, penjara dan juga kantor-kantor urusan pemerintahan lainnya.
Masih meneruskan era terdahulunya, juga ada masjid di sekitar alun-alun. Bahkan di beberapa daerah di bangun juga gereja yang letaknya juga masih di sekitar alun-alun.
Dalam penataan kota kabupaten, Pemerintah Hindia Belanda juga mengatur penempatan fasilitas umum seperti pasar, stasiun bus, stasiun kereta api dan pertokoan. Penempatannya ini selalu tidak jauh dari alun-alun.
Model penataan mulai dari alun-alun sampai dengan tempat-tempat fasilitas umum ini dikembangkan ke semua kabupaten yang ada di Jawa.
Menurut catatan, saat itu Pemerintahan Hindia Belanda mendirikan 66 kabupaten di tanah Jawa, dan hampir semuanya menerapkan model penataan seperti itu.
Alun-Alun Di Masa Sekarang
Saat sekarang ini, fungsi dan arti alun-alun semakin bergeser bila dibandingkan fungsi dan arti dari masa ke masa.
Dari semua peninggalan alun-alun yang ada, hanya beberapa tempat saja yang masih mempertahankan bentuk, fungsi dan penataan bangunan sekitarnya. Bentuknya sudah tidak persegi empat lagi.
Beberapa bangunan di sekitar alun-alun juga lebih banyak ke arah komersial. Fungsi alun-alun pun berubah. Metamorfosa alun-alun ini memang tidak bisa dicegah seiring dengan perkembangan jaman.
Fungsi alun-alun sekarang lebih memfokuskan pada ruang terbuka hijau. Tetapi saat ini tidak semua alun-alun difungsikan sebagai ruang publik yang bisa dipakai rakyat untuk berkegiatan. Bahkan di beberapa daerah sudah mulai ada yang “kehilangan” alun-alunnya.
Banyak faktor yang menyebabkannya. Namun perkembangan positifnya adalah pembangunan alun-alun tidak hanya di pulau Jawa saja, tetapi sudah meluas ke daerah-daerah di Indonesia.
Alun-alun saat ini juga dijadikan ikon kota yang dapat menarik wisatawan luar daerah.
Kesimpulan
Apapun kondisinya sekarang, alun-alun harus diakui sebagai peninggalan kerajaan bersejarah dari jaman lampau yang sangat berharga dan mempunyai nilai historis tinggi.
Seharusnya nilai-nilai ini dapat diakomodir dengan baik agar kita tidak kehilangan identitas diri sebagai bangsa besar.
Baca artikel lain yang menyangkut nilai-nilai sejarah bangsa Indonesia di Bicara Indonesia. Karena Bicara Indonesia akan banyak mengungkap sejarah masa lampau yang mulai terlupakan. –anp–.
Sumber :
- Alun-alun – Wikipedia
- Alun-alun sebagai identitas kota Jawa, dulu dan sekarang – Jurnal, Handinoto, 1992